Penyesalan

Suara merdu pria yang lagi melakukan penyuluhan itu tidak juga menarik perhatian Gadis. Padahal sebagian besar teman – temannya sedang serius menyimak penyuluhan yang diadakan salah satu organisasi peduli Narkoba itu. Gadis tetap saja terlihat bosan dan acuh tak acuh, tidak sedikitpun menyimak apapun yang dibicarakan pria itu mengenai dampak penyalah gunaan obat – obatan terlarang itu. Lima menit kemudian, Gadis pun tidak tahan lagi dan dengan berpura – pura sakit perut, dia minta izin keluar dari ruangan itu, diikuti tatapan sangar Pak Bondan, gurunya.
“hhhh,,, akhirnya,,, males banget dengar ocehan ga’ penting kayak gitu, mereka ga’ tahu apa – apa” gumam Gadis yang saat itu sudah berada di kantin.
“WOI!” teriak seorang cowok mengagetkan Gadis.
“Ricko, kamu bikin kaget aja. Ngapain kamu di sini?” Tanya Gadis pada cowok itu, yang harusnya juga sedang mendengarkan penyuluhan itu.
“hahaha,,, bosan di dalam, karna aku lihat kamu keluar, aku ikutan kabur juga” jawab cowok itu nyengir.
“yang lain mana? Masih betah di dalam?” Tanya Gadis lagi.
“kamu tahu sendiri kan, kalau Cika belum keluar, Dion juga ga’ bakal keluar.” Jawab Ricko sambil mencomot pisang goreng di piring Gadis. “Kalau si Anton sech,, dia sudah tertidur di dalam. Dia kan tadi duduknya di belakang”
Tidak berapa lama, Dion, Cika, dan Anton datang, sambil sesekali bercanda.
“Gimana penyuluhannya?” Tanya Gadis.
“hahaha,,, seperti biasa,,,kayak gitu – gitu aja” jawab Anton.
“mana kamu tahu, kamu kan tidur terus sepanjang penyuluhan” sindir Dion.
“Kita ini emang badung, tapi ga’ bakalan pake obat – obatan kayak gitu. Bener kan Dis?” kata Cika santai.
Gadis diam saja mendengar pernyataan Cika itu. Dia sedang sibuk sendiri dengan pikirannya.
Gadis dan empat kawannya itu, memang terkenal sebagai siswa yang paling badung di SMU Nusa Bhakti itu. Mereka sering terlambat, sering bolos, dan jarang mengikuti Upacara Bendera hari Senin. Tidak sedikit guru yang mengeluhkan sifat mereka yang dianggap sudah keterlaluan, bahkan mereka juga sering dipanggil guru BP. Tapi semua itu juga tidak merubah sikap mereka, semua hukuman yang diberikan tidak juga membuat mereka jera.

Sore itu, seperti biasa Gadis pulang bersama Cika. Dia tidak langsung pulang, tapi mampir dirumah Cika. Seperti biasa, kak Intan, kakak Cika menyambut mereka dengan berbagai kue. Sejak ayah dan ibunya bercerai tiga tahun lalu, Cika memang hanya tinggal bersama kakaknya yang mempunyai usaha bakery. Cika dan kakaknya memang memilih untuk hidup sendiri setelah orang tua mereka bercerai, tidak memilih tinggal bersama ayah atau ibu mereka. Tapi orang tua mereka masih sering mengunjungi mereka.
“Kamu enak ya Cik, ada yang memperhatikan kamu di rumah” kata Gadis
“siapa? Orang tuaku tidak peduli pada kami. Mereka semakin jarang mengunjungi kami.” Jawab Cika.
“Tapi kamu masih punya kak Intan” kata Gadis lagi.
“Memang sih, kak Intan juga yang mengajari aku supaya tidak membenci orang tuaku” kata Cika sambil tersenyum manis. “kamu lagi ada masalah ya, di rumah? Tanya Cika hati – hati.
“hahaha,,, rumahku itu seperti kuburan, atau malah neraka” jawab Gadis getir. “Kamu tahu sendiri kan, di rumah hanya ada Mbok Nah dan Pak Mat. Ayahku yang pengusaha itu, selalu sibuk. Begitu juga ibuku. Waktu aku bangun tidur di pagi hari, mereka sudah tidak ada di rumah, sudah sibuk dengan bisnisnya. Waktu aku mau tidur, mereka belum pulang ke rumah, masih menangani bisnisnya, bahkan saat liburan pun mereka tidak ada di rumah.”
Cika tersenyum lembut mendengar penuturan Gadis. Dia pernah kerumah Gadis, dan suasana rumah megah dan luas berlantai tiga itu memang benar – benar suram. Hanya ada Gadis di sana, bersama Mbok Nah, pembantu setianya yang sudah menemani Gadis sejak kecil, serta Pak Mat, yang bekerja sebagai tukang kebun sekaligus supir buat Gadis walau Gadis lebih sering membawa sendiri mobilnya dari pada diantar Pak Mat.
Semua kebutuhan materi Gadis memang terpenuhi, semua yang dia inginkan pasti bisa terbeli, tapi Cika tahu Gadis tidak butuh semua itu, Gadis butuh perhatian orang tuanya, Gadis ingin bisa bersama orang tuanya, bersenda gurau, menceritakan semua kegiatannya seharian di sekolah kepada orang tuanya, seperti yang dilakukan Cika dengan Kak Intan, seperti yang dilakukan anak – anak lain pada umumnya. Diam – diam, Cika bersyukur masih memiliki kak Intan, dan orang tuanya pun masih mengunjungi mereka walaupun jarang.
Gadis dan Cika sudah berteman sejak SMP, dan mereka sudah seperti saudara sendiri. Kadang Gadis menginap di rumah Cika, begitu juga sebaliknya, kadang Cika yang menginap di rumah Gadis, menemani Gadis. Dan meskipun sudah berteman lama, Cika memang jarang bertemu dengan orang tua Gadis yang memang sibuk sekali. Bahkan walaupun Cika menginap di rumah Gadis, dia hampir tak pernah melihat orang tua Gadis. Sepanjang persahabatannya yang lama dengan Gadis, pertemuannya dengan orang tua Gadis bisa dihitung dengan jari.

Besoknya, Gadis tidak masuk sekolah. Cika, Ricko, Anton dan Dion baru saja berencana mau ke rumah Gadis, menengok Gadis sepulang sekolah nanti, ketika tiba – tiba handphone Cika berdering.
“Halo, mbak Cika, tolong mbak Cika,,,mbak Gadis,,, mbak Gadis…” kata suara di seberang telpon terdengar cemas, yang ternyata mbok Nah, pembantu Gadis.
“Gadis kenapa mbok?” Tanya Cika panik.
“Mbak Gadis sekarat. Sekarang ada di rumah sakit.”
Secepat kilat, Cika, Dion, Ricko dan Anton bergegas ke rumah sakit yang disebutkan mbok Nah. Sesampainya disana, mereka melihat mbok Nah dan Pak Mat masih menunggu di depan ruang pemeriksaan.
“Sebenarnya Gadis kenapa mbok?” Tanya Cika ke mbok Nah.
“Saya juga ga’ tahu mbak, waktu saya mau bangunkan tadi, mbak Gadis sudah terbaring di lantai, tubuhnya kejang – kejang, dan dari mulutnya keluar busa” jawab mbok Nah. “saya juga menemukan ini di dekat mbak Gadis” sambungnya lagi sambil memperlihatkan beberapa butir obat.
“Ini,,, ini kan,,,” Cika kaget melihat obat itu, begitu juga teman – temannya yang lain. Mereka ga’ menyangka Gadis ternyata mengkonsumsi obat – obatan terlarang. Dia ingin marah, marah kepada dirinya yang tidak menyadari kalau Gadis mengkonsumsi Narkoba. Seandainya dia tahu, dia pasti akan melarang Gadis merusak dirinya sendiri dengan obat – obatan itu.

Pemakaman baru saja usai. Beberapa pelayat yang mengantar jenazah Gadis sudah pulang, begitu juga dengan orang tuanya yang tampak terpukul sekali, kehilangan Gadis, anak semata wayang mereka. Tapi Cika masih tetap di sana, terpaku menatap nisan Gadis. Bahkan hujan yang mulai turun pun tak dihiraukannya. Dia teringat kebersamaannya dengan Gadis selama ini, mengingat betapa rapuhnya Gadis, walaupun Gadis selalu mencoba terlihat kuat dan tegar.
“kenapa kamu ga’ pernah cerita ke aku Dis? Kenapa kamu milih mengkonsumsi obat – obatan mengerikan itu daripada cerita ke aku semua masalah kamu? Aku ini sahabat kamu kan Dis?” gumam Cika lirih.
“Cika,,, ayo kita pulang” ajak Kak Intan lembut. “tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan, kamu Cuma bisa mendoakannya sekarang, semoga dia bisa lebih bahagia di sana. Dan kematiannya ini, biar menjadi pelajaran buat kamu dan teman – teman kamu yang lain.”
Cika mengangguk lemah, dan mengikuti kakaknya pulang. “Semoga sekarang kamu bahagia di sana Gadis” gumamnya lagi.

Leave a comment